Sabtu, 05 Januari 2008

Membidik Komoditas dan pasaran lewat Internet

pala yang tersebar di hutan-hutan Fakfak memiliki spesies berbeda dengan yang ada di tempat-tempat lain sehingga produksi olahannya akan memiliki daya saing tinggi.

Kalimat itu meluncur dari Bupati Fakfak Wahidin Puarada saat meresmikan Telecenter Sekban di Distrik Fakfak, Kabupaten Fakfak, Irian Jaya Barat, Rabu (13/12) pekan lalu.

Telecenter merupakan salah satu sistem program pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi berbasis internet. Badan dunia yang membidangi masalah program pembangunan, United Nations Development Program (UNDP), memprakarsai program telecenter ini untuk program pengentasan rakyat miskin di negara-negara berkembang lainnya.

Di Indonesia, UNDP menggandeng Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Dana hampir mencapai satu juta dollar AS dihibahkan UNDP untuk membuat telecenter percontohan di enam provinsi. Telecenter di Kabupaten Fakfak menjadi percontohan di provinsi keenam atau terakhir kalinya.

Sebelumnya, sejak 2004, telecenter telah dibuka di Magelang (Jawa Tengah), Lumajang dan Madiun (Jawa Timur), Kendari (Sulawesi Tenggara), Tuladenggi (Gorontalo), dan Salubomba (Sulawesi Tengah).

Tidak hanya telecenter, masih ada program-program serupa lainnya, seperti Departemen Komunikasi dan Informatika membuat program Community Access Point (CAP), Kementerian Negara Riset dan Teknologi dengan Warung Informasi Teknologi (Warintek), dan Warung Informasi diluncurkan Departemen Perindustrian.

Internet sangat efektif menyajikan sarana informasi dan komunikasi seluas-luasnya. Lebih dari sekadar menyerap informasi, tetapi bisa diterapkan informasi untuk tujuan tertentu.

Direktur Program Telecenter dari Bappenas, Agung Hardjono, mengatakan perlengkapan telecenter meliputi lima unit komputer terhubung jaringan internet, printer, pemindai gambar, proyektor, kamera digital, kamera web, televisi, dan buku-buku penunjang. Berbagai perlengkapan itu cukup memadai untuk mengekspos potensi masyarakat seperti dari Fakfak ke dunia luar melalui internet. Hanya saja, saat ini kondisi jaringan telekomunikasi dari PT Telkom dirasakan belum bisa memberikan manfaat yang optimal untuk mengakses atau menjalin komunikasi melalui internet tersebut.

Produksi olahan

Pada kesempatan peresmian Telecenter Sekban, pernyataan Bupati Wahidin membidik produksi olahan pala dari Papua—masyarakat setempat menyebutnya sebagai pala negeri (Myristica argentea ware)—sebagai tujuan konkret untuk menyejahterakan masyarakatnya.

"Masyarakat mampu menjual pala negeri ini dengan nilai tinggi, tetapi yang dijumpai tetap saja masyarakat itu miskin," kata Wahidin.

Wahidin menyebutkan, nilai transaksi perdagangan pala Fakfak dalam setahun terakhir bisa mencapai Rp 35 miliar. Namun, itu belum cukup signifikan dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat.

"Telecenter diharapkan bisa membuka jalan informasi pemasaran maupun peningkatan produksi olahan pala di Fakfak. Kemudian fungsi pelabuhan Fakfak harus dikembalikan menjadi pelabuhan ekspor sehingga harga pala yang diperoleh cukup tinggi dari negara tujuan ekspor," kata Wahidin.

Wahidin sekarang memprihatinkan keadaan kapal-kapal yang singgah di Fakfak. Kapal-kapal itu hanya singgah untuk menurunkan muatan dan sedikit mengangkut komoditas yang bernilai dari Fakfak. Bahkan, kapal-kapal itu sering pulang dari Fakfak dengan keadaan kosong. Itu disebabkan dari Fakfak belum ada yang layak dijual untuk memasuki pasar regional atau pasar ekspor yang lebih luas.

Data yang dikutip Bappenas, pada 2005 di Kabupaten Fakfak terdapat 10.583 keluarga dalam kategori miskin. Persentase jumlah ini hampir 60 persen dari 14.685 keluarga yang tercatat pada 2004.

"Kota Pala"

Di beberapa sudut kota Fakfak terdapat beberapa tulisan penghias penataan kota yang menyatakan Fakfak adalah kota pala. Seperti diungkapkan Wahidin, pernyataan itu sangat beralasan karena sejak masa kolonial Belanda, Fakfak menjadi salah satu eksportir pala terbesar ke Eropa.

"Produksi pala Fakfak saat ini juga tercatat mampu memenuhi 5 persen kebutuhan pala dunia," kata Agung Hardjono.

Pendapatan masyarakat Fakfak dari komoditas pala yang masih rendah, menurut Agung, karena sebagian besar masyarakat hanya menjual pala tanpa ditingkatkan untuk mendapatkan nilai tambah. Harga pala juga rendah karena dipengaruhi tingkat perdagangannya tidak bisa langsung ke tangan konsumen atau negara tujuan ekspor tertentu. Masyarakat Fakfak saat ini masih menjual pala kepada para pengepul yang kemudian mengirimnya ke Surabaya.

Agung mencontohkan, saat ini pemanenan pala dari hutan-hutan masih menanggalkan daging buah pala sehingga menjadi terbuang percuma di hutan. Padahal, daging buah pala itu dapat diolah menjadi bernilai tambah tersendiri, misalnya untuk manisan dan berbagai produk turunannya seperti sirup, permen, atau selai. Bahkan juga kecap pala, seperti yang sudah dilakukan salah seorang warga di Kampung Sekban, Distrik Fakfak, yaitu Karel Ubra (53).

Karel pada 1992 mengajukan paten manisan pala, tetapi sampai sekarang belum bisa diperolehnya.

"Paten menjadi kendala setiap kali ingin memasarkan produk-produk olahan pala. Lagi pula permintaan pasar juga mensyaratkan ada jaminan kuota jumlah produksi yang masih sulit dipenuhi," kata Karel.

Berdasarkan data Dinas Kehutanan dan Perkebunan Fakfak, yang dikutip Agung, realisasi perdagangan pala dari Fakfak pada 2004 meliputi pala kering 605.826 kilogram, pala ketok yang dikupas batoknya 263.132 kilogram, dan bunga pala 159.735 kilogram.

Untuk harga pala di tingkat yang paling rendah, yaitu dari warga yang mengumpulkan buah pala dari hutan, setiap 1.000 biji dihargai Rp 100.000 atau Rp 100 per biji. Warga sering mengeluhkan praktik ijon pala juga sering berlangsung. Pala yang dihasilkan dari hutan yang menjadi hak adat mereka pun tetap saja belum mampu menyejahterakan.

"Telecenter menjadi sarana untuk memperoleh informasi dan menjalin komunikasi dengan pasar," kata Agung.

Pengadaan jaringan

Di Fakfak, peresmian Telecenter Sekban disusul dengan peresmian Telecenter Tetar di Distrik Teluk Patipi. Namun, jaringan telekomunikasi dari PT Telkom belum menjangkau wilayah tersebut. Bupati Wahidin masih menjanjikan pengadaan jaringan tersebut melalui telepon satelit. Kedua telecenter di Fakfak itu berjarak sekitar 50 kilometer.

Dari Telecenter Tetar, peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat diharapkan juga bisa melalui produksi ikan laut tangkapan. Selama ini masyarakat mampu menangkap ikan melimpah, tetapi tidak mampu menjual untuk mendapatkan uang.

Produk turunan ikan laut sebatas pada pengasapan dan pengasinan. Ini belum memberi kontribusi kesejahteraan masyarakat yang memadai. Masyarakat Tetar maupun yang lainnya di Fakfak memproduksi ikan sekadar cukup kenyang untuk dimakan sehari-hari.

Kondisi ketidakmampuan meningkatkan potensi kesejahteraan masyarakat seperti itulah yang menjadi tantangan program telecenter maupun program-program serupa lainnya.

Internet memberi kontribusi dalam menyajikan sarana informasi dan komunikasi. Namun, semua bergantung pada kreativitas serta produktivitas masyarakat, termasuk paling penting adalah peran fasilitator yang bisa mendekatkan teknologi internet kepada masyarakat.

Kamis, 29 November 2007

Rakyat Papua ditipu


Papua Minta Pembagian Adil Royalti Freeport dari Pemerintah PusatRAKYAT Papua merasa diperlakukan tidak adil oleh pemerintah Indonesia terkait dengan kontrak karya penambangan emas di Papua oleh PT. Freeport Indonesia. Ketua DPRP Papua John L. Ayomi, S.Sos dalam Rapat Dengar Pendapat dengan anggota DPR RI mengatakan pemerintah Indonesia tidak memberikan apa yang menjadi hak rakyat Papua dalam pelaksanaan penambangan itu.Sesuai dengan Undang-Undang Otonomi Khusus Papua, pemerintah Indonesia semestinya menyerahkan 20 persen dari royalti dan pendapatan-pendapatan lainnya. Namun pemerintah Indonesia hanya memberikan 9 persen saja.Untuk itu, DPRP Papua meminta agar pemerintah pusat melalui Departemen Keuangan memberikan seluruh apa yang menjadi hak rakyat Papua. John juga meminta DPR untuk mendesak pemerintah pusat untuk membayar apa yang menjadi hak rakyat Papua.Sementara itu, Inya Bay, SE, MM, anggota DPR RI dari daerah pemilihan Papua ketika mendampingi DPRP Papua dalam pertemuan dengan DPR RI tersebut mengatakan apa yang menjadi tuntutan masyarakat Papua harus segera dilaksanakan oleh pemerintah pusat, terutama untuk memenuhi perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dengan daerah. Ia mengatakan berbagai hal yang terjadi dalam kontrak karya itu dan pembagian royalti telah menjadi ganjalan serius yang harus segera diselesaikan oleh pemerintah pusat.Kepada wartawan seusai pertemuan dengan DPR RI, John L. Ayomi menegaskan bahwa masyarakat Papua dalam kaitan pembagian royalti tidak menyalahkan PT. Freeport Indonesia, tetapi menyalahkah sikap pemerintah Indonesia yang tidak adil. Dikatakannya, bagian yang sembilan persen tersebut dibagi kepada 20 kabupaten di Papua. Sedangkan pembagian satu persen untuk dana kemitraan dibagi pada 7 suku yang ada di sekitar penambangan.John juga mengatakan perlu ditinjau ulang kontrak karya penambangan tersebut, karena tidak mengakomidir kepentingan penduduk setempat.Ia juga menepis anggapan bahwa kontrak karya ini sulit direvisi karena menyangkut perjanjian internasional. “Itu tidak benar. Perlu direvisi karena tidak mengakomidir kepentingan masyarakat Papua,” tegasnya.Dikatakannya, kontrak karya itu seharusnya lebih detil dan selalu mengacu pada berbagai ketentuan yang berlaku seperti UU Otonomi Khusus Papua. Termasuk pengaturan berapa royalti untuk daerah, soal pelaksanaan community development, penyerapan tenaga kerja penduduk asli dan sebagainya serta alih tehnologi. Disamping harus memberikan rasa keadilan bagi seluruh rakyat Papua.Sehingga cara pandang masyarakat Papua terhadap PT. Freeport bisa berubah dan tumbuh rasa memiliki.John dengan nada keras mengatakan, setelah 40 tahun Freeport berada di Papua tidak ada kemajuan yang berarti bagi daerah. Ironisnya, selama puluhan tahun itu apa yang menjadi hak daerah semuanya disedot oleh pemerintah pusat. “Selama 40 tahun mereka mengambil kekayaaan Papua, hanya 17 orang Papua yang menjadi staf dan 200 orang karyawan dengan posisi menyedihkan,” ujarnya.John sangat menyesalkan kurangnya perhatian pemerintah terhadap masyarakat Papua dan berharap ke depan melalui Pansu dan Panja Freeport DPR RI dapat ditemukan jalan terbaik sehingga masyarakat Papua merasa diperlakukan adil. (Helman)Sumber : Metro Indonesia.Keterangan Gambar : Delegasi DPRP Papua memberikan paparan seputar kontrak karya PT. Freeport Indonesia dihadapan Komisi VII DPR RI. Ikut mendamping delegasi Inya Bay, SE, MM, anggota DPR dari Papua (paling kiri).
{tanggahma Mhanus}